Rabu, 19 Desember 2012

Universitas Esa Unggul menjadi Pemenang Perguruan Tinggi Swasta Unggulan 2012 – Kopertis Wilayah III Jakarta bidang Akselerasi Program Peningkatan Mutu



Selamat kepada Universitas Esa Unggul sebagai Pemenang Perguruan Tinggi Swasta Unggulan 2012 di Bidang Akselerasi Program Peningkatan Mutu – Kopertis Wilayah III Jakarta
piala PTS unggulan 2012
Download Pemilihan PTS Unggulan 2012.ppt

Keunggulan generik universitas terpilih
  • Kejelasan arah pengembangan dan tahapannya
  • Menerapkan harmonisasi sistem sentralisasi administrasi/operasional dan desentralisasi akademik
  • Didukung sepenuhnya dengan pemanfaatan sistem informasi dan teknologi untuk kecepatan layanan dan efisisen
  • Paper-less services

4 Perguruan Tinggi Swasta
Akselerasi Program Peningkatan Mutu
  • Agresif dalam memfokus kepada program-program studi keahlian spesifik (profesional) yang langka, untuk percepatan daya serap lulusan di pasar kerja
  • Didukung tim pengajar perpaduan yang kuat antara akademisi, praktisi (profesional), dan birokrat
  • Menerapkan sistem pengajaran  berbasis IT dari awal sampai akhir proses pembelajaran secara on-line
  • Memperkaya dengan sekitar 20 jenis soft-skills yang relevan dengan kebutuhan pasar
  • Diterapkannya sistem insentive dan disinsentive berbasis capaian kinerja dosen dalam struktur remunerasi
  • Luasnya kerjasama dengan dunia industri dan dunia kerja
  • Mempunyai potensi berkembang cepat

More News 

Senin, 17 Desember 2012

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika,Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus antara Universitas Esa Unggul dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat

Pada Hari Kamis 06 Desember 2012 Bertempat di Ruang 207-208 Universitas Esa Unggul (UEU), telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara UEU dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat tentang Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika, Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus.
Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Universitas Esa Unggul, Bapak Dr. Ir. Arief Kusuma AP., MBA dihadiri oleh Civitas Akademika UEU, Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta para orang tua mahasiswa dan undangan. Dalam sambutannya Bapak Dr. Arief Kusuma menyampaikan bahwa UEU terus berupaya dan berbenah diri dalam menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan kondusif dilingkungan UEU dan tak akan pernah mentolerir bagi berkembang dan masuknya narkoba, minuman keras dan judi di lingkungan kampus.
Penandatangan tersebut sekaligus mempertegas sikap dan komitmen UEU bahwa narkotika adalah barang haram dan mematikan yang perlu dicegah sedini mungkin, upaya ini tentu perlu didukung oleh semua pihak dengan melibatkan berbagai unsur terkait dengan bekerjasama secara aktif guna menangkal masuk dan berkembangnya narkoba, minuman keras dan judi di kampus. Dalam sambutannya Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, yang diwakili Ajun Komisaris Besar Polisi Gembong Yudha SP, SH selaku Kasat Resnarkoba Polres Jakarta Barat menyambut baik kerjasama ini dan siap secara bersama-sama menciptakan UEU sebagai kampus yang bersih, sehat dan kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar dan terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada rusaknya sendi-sendi moral maupun tata kelola kehidupan masyarakat kampus yang harmonis.
Penandatanganan ini juga seolah menjadi sebuah angin segar bari para Civitas Akademika UEU, para orang tua dan masyarakat ditengah semakin tingginya kekhawatiran public dengan merebaknya pemakaian dan peredaran gelap narkoba, judi dan minuman keras di kampus. Demi keselamatan kita bersama, katakan tidak pada Narkoba, demikian yang disampaikan oleh Bapak David Hutapea dari BNN yang berkesempatan hadir pada acara ini dan siap mendukung UEU mencegah masuknya narkotika di kampus.


More News

Sabtu, 15 Desember 2012

Workshop & Seminar dan Contest Blog – HIMMA Fasilkom Eksekutif Universitas Esa Unggul


Dalam rangka memperingati Human Rights Day 2012, HIMMA Fasilkom eksekutif Universitas Esa Unggul menyelenggarakan Workshop & Seminar dan Contest Blog dengan tema Kau Sahabat dan Saudaraku”

Workshop & Seminar
Jumat, 21 Desember 2012, Jam 14.00 WIB – Selesai
Ruang 811, Lantai 8 Universitas Esa Unggul
Pembicara  : Enda Nasution ( Bapak Blogger Indonesia)

Contest Blog
Sabtu, 26 Januari 2013, Jam 09.00 WIB – 14.00 WIB
Ruang 811, Lantai 8 Universitas Esa Unggul

HADIAH :
  • Juara 1   :  Laptop
  • Juara 2   :  Netbook
  • Juara 3   :  Tablet PC
Pendaftaran :
Mahasiswa Esa Unggul  Rp. 50.000,-
Umum  Rp. 75.000,-
Salman – 089601457222
Lidya – 085715566479
Fardian – 089635920035

Note :
Untuk mengikuti Workshop ini tidak wajib mengikuti lomba, tetapi yang mengikuti lomba wajib untuk mengikuti workshop

Kata Kunci : universitas , contest , blog 

More News 

Kamis, 13 Desember 2012

Perjanjian Alih Teknologi melalui Usaha Patungan antara “Enterprise” dengan Perusahaan Perintis



PERJANJIAN ALIH TEKNOLOGI MELALUI USAHA PATUNGAN ANTARA ”ENTERPRISE” DENGAN PERUSAHAAN PERINTIS
Fitria Olivia
Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
fitria.olivia@esaunggul.ac.id
Abstract
Natural resources in oceanic seabed has been declared in International Maritime Law Convention as heritage for all people, which it exploration, exploitation, production, and distribution, required science and technology. This thing constituted by reality that limited science and technology mastered by several advanced industrial states, while natural resources, geographically not spread over widely in the world, most often the biggest natural resources spread in several developing countries.To avoid domination monopolies the source of natural resources by developed countries (industrial states) with their science, technological and capital, required the compensation for exploitation and exploration with 1 (one) term and condition which is the existence of transfer of  technology with hope can be distributed fairly among  developing countries. Through International Maritime Law Convention, arranged rights and obligations of developed countries (industrial states) to transfer of  their techno-logy to developing countries as receiver.Indonesia as member of International Maritime Law Con-vention has adopted the convention into national legislation. Transfer of technology aspects between Investor that mastering science and technological with Join Company to be certain company, intentio-nally formed for the agenda to explored and exploited the natural resources and implication must be evaluated from national importance for the agenda of wealthy people.
Keywords: Transformation, Technology, Agreement

Pendahuluan
Berkembangnya kemajuan teknologi yang menakjubkan dewasa ini yang telah membawa persoalan-persoalan baru bagi hukum internasioanal adalah kemungkinannya eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam mineral di dasar laut samudra dalam yang jauh dari pantai, (Hasyim Djalal, 1979) misalnya minyak bumi dan gas alam cair. Persoalan hukum internasioanal muncul akibat status area penambangan berada di lokasi yang dinyatakan sebagai samudra internasional. Disamping itu, jenis kan-dungan sumber mineral alamnya menguasai hajat hidup orang banyak dikemudian hari dengan jumlah dan sebaran yang terbatas diseluruh perut bumi.

Seperti dipahami, bahwa kemampuan tek-nologi penambangan dasar laut samudra dalam baru hanya dikuasai oleh sejumlah kecil negara industri barat yang maju, dengan ditopang oleh struktur kekuatan finansial yang ”menggurita” keseluruh pelosok dunia, berhadapan dengan negara-negara ber-kembang yang bahkan diantaranya berusia belia karena baru lepas dari penjajahan fisik dengan ting-kat kemapanan ekonomi dan penguasaan teknologi yang kurang menggembirakan, ditambah kemungkinan di wilayah teritorialnya mengandung bahan galian mineral. Kesenjangan ini menimbulkan kegundahan akan ancaman ”tersandarnya kedaulatan negara” karena ketergantungan akan produk mineral atas mineral yang dikuasai oleh teknologi negara-negara industri barat dan Jepang. (Elisabeth Mann Borgese and Norton Ginsburg, 1986)

Agar penambangan mineral ini tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju, maka perlu diciptakan rezim hukum internasioanal yang dapat mengakomodasi kepentingan  negara-negara berkembang yang teknologinya belum mampu dengan jalan mentransfer teknologi guna menunjang pembangunan ekonomi dan kemajuan kesejahteraan rakyatnya, sehingga tercipta Tata Ekonomi Dunia Baru yang adil dan seimbang. Berkat perjuangan Kelompok 77 negara-negara berkembang, setelah melalui perundingan intensif yang memakan waktu 9 (sembilan) tahun, maka dapa tanggal 10 Desember 1982 ditanda-tangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut tentang pembagian Area Interna-sional yang memisahkan dengan Area Teritorial negara, dan kepemilikan sumber alam mineral yang dikandung di Area Internasioanal oleh 119 (seratus sembilan belas) negara di Jamaika.

Kepemilikan kandungan sumber daya mine-ral di Area Internasioanal (kawasan dasar laut internasional di luar badas yurisdiksi nasional) telah ditetapkan sebagai ”warisan bersama umat manusia” menurut Pasal 136 Konvensi Hukum Laut 1982. Dan untuk mengatur, mengawasi serta mengelolanya telah dibentuk Badan Otorita.
Kewenangan Badan Otorita dalam peranan aktifnya untuk kegiatan transfer teknologi tercermin dalam Pasal 144 Konvensi Hukum Laut 1982, sebagai berikut:
1.     Otorita diberikan kewenangan untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
  • Memperoleh ilmu dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung kegiatan penamba-ngan di Area.
  • Mengusahakan terlaksananya atau setidaktidaknya mendorong kearah alih teknologi kepada negara-negara berkembang.


2.     Otorita bersama-sama dengan semua negara anggota Konvensi harus mengadakan kerja-sama seerat-eratnya guna :
  • mengembangkan program alih teknologi baik pada ”Enterprise” maupun negara-negara berkembang menurut syarat-syarat dan ketentuan alih teknologi yang adil dan wa-jar.
  • Memberikan kesempatan kepada tenaga pekerja dari negara-negara berkembang untuk mengikuti program pelatihan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan.

Hak atas informasi perkembangan teknologi yang diterapkan di Area yang dituntut oleh negara-negara berkembang diakomodasikan dalam Pasal 13 ”Charter of Economic and Duties of States” Resolusi PBB No. 3281 tahun 1984 yang menyatakan :

”Every state has the right to benefit from the advan-cement and developments in science and technology for the acceleration of its economic and science development”.
Penggambaran prinsip berkeadilan diantara Negara-negara berkembang tercermin dalam Pasal 274 Konvensi Hukum Laut tahun 1984 yang antara lain menyatakan :

”Dengan memperhatikan semua kepentingan hu-kum, termasuk hak dan kewajiban dari pemilik dan penerima teknologi, otorita harus menjamin keikutsertakan warga negara dari negara-negara berkem-bang dalam program pelatihan berdasarkan prinsip distribusi geografis yang adil”

Prinsip distribusi geografis yang adil harus pula menimbang kepentingan-kepentingan negara-negara berkembang karena adanya suatu kenyataan bahwa tidak semua negara memiliki kondisi dan situasi geografis yang sama dan jenis sumber alam mineral yang terkandung di dalamnya yang dihasilkan oleh alam dengan jumlah yang terbatas sangat spesifik karakteristiknya, dan disamping kemampuan tingkat kualitas sumber daya manusianya yang beragam.

Perlu disadari, kegiatan penambangan di Area meliputi bebagai bidang disiplin ilmu yang diterapkan dalam kegiatannya: Eksplorasi dan eksplorasi, produksi, penyimpanan dan pengemasan, distri-busi dan tranportasi, pemasaran, administrasi dan manajemen, dan perbaikan dan pencegahan dampak lingkungan.
Jadi tuntutan keadilan yang disuarakan leh negara-negara berkembang adalah bukan dalam bentuk penerimaan modal, akan tetapi dalam perolehan informasi, baik melalui program pelatihan maupun kegiatan riset dan pengembangan teknologi yang tertuang dalam Pasal 247 Konvensi Hukum Laut tahun 1984.

Keengganan negara-negara industri maju untuk membagi pengetahuan teknologi, dikarenakan pada prinsipnya mereka pun membutuhkan waktu yang panjang, sejumlah pakar yang handal, pembangunan lembaga-lembaga penelitian yang maju yang kesemuanya ditunjang oleh aliran dana penelitian yang tidaklah murah. Disamping itu, tidak setiap teknologi itu cocok begitu saja pada kondisi dan situasi setempat, sehingga masih diperlukan lagi modifikasi dan inovasi-inovasi baru untuk penerapannya, yang sebelumnya telah dilakukan pengkajian-pengkajian terhadap aspek-aspek teknis dan non-teknis, yang berarti dibutuhkan lagi waktu, tenaga ahli dan sudah barang tentu dana penelitian riset dan pengembangan teknologi. Maka perlu juga disadari jerih payah negara-negara maju perlu juga dihargai, dengan menggantikan pengeluaran-pengeluaran mereka ketika melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dengan harga yang wajar dalam kerangka perlindungan hukum terhadap temuan-temuan mereka.
Dalam rangka melindungi kepentingan pemilik teknologi, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 267 Konvensi Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan bahwa :
”Stats, shall have dua regard for all legitimation interests including inter alia, the rights and duties of holders, suppliers and recipients of marine technology”
Menimbang keberadaan pasar teknologi yang bersifat oligopoly dengan harga yang dirasa tidak adil dan tidak wajar, maka perlu mengatur mekanisme transfer teknologi yang melindungi para pilah yang berikatan dalam bertransaksi teknologi, yang meliputi  (Ita Gambiro, 1986):
  1. Pengaturan saluran resmi transfer teknologi, dan jenis perikatan diantara para pihak
  2. Pengaturan dan pengamanan atas hak dan kewajiban para pihak atas perikatan transfer teknologi
  3. Pengaturan, pengawasan dan pengamanan terhadap teknologi
  4. Kelalaian dalam perikatan
  5. Ketidak-sepakatan
  6. Berakhirnya perikatan
  7. Pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa.

Atas dasar itu maka dibuat perangkat hukum yang memuat syarat-syarat dan ketentuan alih teknologi yang adil dan layak, sesuai dengan Pasal 144 adalah Pasal 267 Konvensi Jo Pasal 271 Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan bahwa:
”States, directly or through competent international organization, shell promote the establishment of generally accepted guidelines, criteris and standard or the transfer of marine tecnology on bilateral ba-sis, or within the framework international organiza-tion and other fora, ataking into account, in parti-cular, the interst and needs of developin states”
Keikutsertaan Indonesia adalah untuk mengajukan usulan dan mengadopsi pedoman-pedoman standar internasioanal yang mengatur mekanis-me penyelenggarakan transfer teknologi guna dite-rapkan pada Area territorial nasional, mengingat ke-mungkinan potensi alam Indonesia baik yang berada di landas kontinen maupun jauh dari lepas pantai dalam Area territorial nasionalnya yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi, guna menjamin ke-majuan ekonomi, tidak terganggunya stabilitas kea-manan dan politik serta social budaya, dengan pili-han-pilihan saluran-saluran transfer teknologi se-perti :
  1. Mempekerjakan tenaga ahli asing perorangan
  2. Penyelenggaraan supplai dari mesin-mesin dan peralatan lainnya
  3. Perjanjian lisensi (technology license agree-ment)
  4. Expertise dan bntuan atau asistance teknis

Pedoman standar aaluran transfer teknologi yang dikembangkan oleh Otorita Internasioanal se-bagai operator transfer teknologi sesuai Pasal 5 (1) dan (2) Annex III Konvensi Hukum Laut 1982 ada-lah perusahaan-perusahaan yang disebut “Enter-prise”.
Adopsi pedoman-pedoman standar interna-sional guna diterapkan pada Area territorial nasional terutama ditujukan kepada :
  1. Pembentukan Badan Otorita guna mengatur, mengawasi dan mengamankan pembuatan dan implementasi isi perikatan transfer teknologi;
  2. Pembentukan Badan Operator pelaksana saluran transfer teknologi dalam hal ini perusahaan pa-tungan yang terlepas dari masing-masing in-duknya;
  3. Pengawasan terhadap teknologi dan kewajiban atas pembayaran-pembayaran akibat adanya transfer teknologi.
  4. Investor perintis asing dapat berupa :

  • Negara asing yang mengembangkan prinsip kerja sama yang dibingkai dalam perikatan Grants atau Loan;
  • Perusahaan asing yang melakukan perikatan dalam bentuk kontrak seperti penggunaan Technical Assistance Contract, PatenLicence, Management Contract, Franchise, dan ada pula de-ngan membangun perusahaan baru lepas dari induk perusahaan berupa Joint Venture atau Sub-sidiary;
  • Lembaga-lembaga Internasional yang memben-tuk perikatan dengan kegiatan antar Kamar-kamar dagang, lembaga penelitian, universitas, mengikutsertakan ahli dalam pertukaran pikiran di seminar-seminar internasional.

Pengaturan, pengawasan dan pengamanan teknologi dimaksudkan untuk memastikan bahwa teknologi yang ditransfer merupakan teknologi yang sama sekali baru, atau belum pernah dikembangkan di tahan air, memiliki kegunaan yang tinggi, waktu yang singkat untuk dikuasai dan tidak mengancam kelestarian alam, dan juga harus dapat dibayar dengan harga yang dirasa wajar dan adil.
Pengaturan, pengawasan dan pengamanan isi perikatan dan implementasinya bertujuan agar tidak diakomodasikannya dalam perikatan segala pembatasan dan larangan oleh pihak pemberi teknologi kepada perusahaan patungan berupa :
  1. Pembatasan-pembatasan terhadap kemampuan produksi perusahaan patungan
  2. Pembatasan bidang pembayaran
  3. Pelaksanaan lainnya yang mempunyai akibat yang sama atau serupa

Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :
  1. Mengingat peran pentingnya pembentukan Badan Otoritas yang akan mengatur, mengawasi dan menganankan pembuatan perikatan dan implementasi isi perikatan di Area yurisdiksi Indonesia, dibutuhkan aturan perundang-undangan yang pasti dan dapat diterima oleh masyarakat internasional. Dapatkah ketentuan-ketentuan alih teknologi yang diatur Konvensi Hukum Laut 1982 diadopsi secara langsung kedalam perundang-undangan di Indonesia ?
  2. Badan yang dipilih sebagai operator untuk salu-ran transfer teknologi yang bagaimana yang cocok ?
  3. Harus mengacu pada hukum yang mana dan tunduk pada yurisdiksi negara mana, menim-bang salah satu pihak merupakan badan asing ?
  4. Bagaimana pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perikatan baik diantar para pihak, para pihak dengan teknologi dan pengaturan terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh teknologi agar dapat ditransfer ?


Dari berbagai masalah yang dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :
  • Mempelajari hukum apa dan yurisdiksi mana yang berlaku bagi badan saluran-saluran transfer teknologi akibat adanya perikatan dengan invenstor perintis
  • Mempelajari dan meneliti landasan teoritis yang mendukung penerapan ketentuan-ketentuan alih teknologi yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terhadap kontrak alih teknologi khusus yang dibuat dalam rangka perikatan transfer teknologi di atas. Selain itu akan diteliti pengaruh dari kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi penambangan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya perundang-undangan tentang teknologi.
  • Mempelajari dan meneliti masalah penerapan hukum organisasi internasional pada kontrak alih teknologi
  • Selain itu, akan diteliti pengaruh dari kegiatan riset dan pengembangan teknologi penambangan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya perundang-undangan mengenai teknologi.

Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menemukan model pengaturan alih teknologi. Penulisan ini menggunakan metode penelitian des-kriptif-analitis-komperatif dengan pendekatan nonyuridis dan yuridis. Pendekatan non-yuridis bertujuan untuk mengungkapkan fakta-fakta bahwa meningkatnya ketergantungan masyarakat internasional terhadap Area sebagai sumber daya alam mineral di-masa yang akan datang dan belum meratanya kepemilikan teknologi penambangan ini mengharuskan adanya alih teknologi dari perusahaan multinasional negara-negara maju kepada perusahaan patngan dan negara-negara berkembang. Uraian-uraian yang bersifat non-yuridis dapat membantu menganalisa masalah-masalah hukum karena adanya perbaikan atau penemuan teknologi yang dibuat oleh searang ilmuwan dari negara-negara berkembang.

Pendekatan yuridis dilakukan dengan melihat dan mempelajari ketentuan alih teknologi dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dibandingkan dengan  perjanjian kontrak karya antara Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia dengan kontraktor serta perjanjian alih teknologi dalam perjanjian usaha patungan antara Pertamina dengan investor asing. Penggunaan metode ini diharapkan dapat menemukan model pengaturan alih teknologi penambangan dasar laut samudra dalam melalui usaha patungan. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Pengumpulan berbagai literature dan data-data yang relevan dengan topik penulisan ini.
  2. Pengumpulan data-data melalui wawancara yang terkait dengan topik tesis ini, seperti Departemen Pertambangan dan Energi, dan Pertamina.


Selengkapnya :

PERJANJIAN ALIH TEKNOLOGI MELALUI USAHA PATUNGAN ANTARA ”ENTERPRISE” DENGAN PERUSAHAAN PERINTIS

Daftar Pustaka
Dimitri Garmides (Editor), “Transfer of Technology by Multinational Coorporation. Volume 1st, OECD, 1977.
Elisabeth Mann Borgese and Norton Ginsburg (Editor), “Transfer of Technology Under The UN Convension on The Law of the Sea”, Ocean Yearbook 6th. The University of Chicago Press, Chicago and London, 1986.
Gunther Jeanicke, Erich Schanze, Wofgang Hauser, “A Joint Venture Agreement for Seabed Mining”, KluweDevente (Volume 5th ), 1981.
Hasyim Djalal, ”Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, Bina Cipta, Bandung, 1979.
Iskandar Alisyahbana, ”Beberapa Masalah Tekno-logi”, Simposium Tentang Paten, BPHN,  Bina Cipta, Jakarta, 1978.
Ita Gambiro, ”Pemindahan Teknologi dan Pengaturannya Dalam Peraturan Perunda-ngan”, Seminar Aspek-aspek Hukum dari Pengalihan Teknologi, BPHN, Dept. Kehakiman, Jakarta, 1986.
John Vandermeulem and Susan Walker (Editor), “Ocean Technology, Development Training and Tranfer”, Proceeding Paceming Maru-bus XVI, IOI Malta, Pargamon Press, Singapore, 1991.
M. Nawaz Sharif (Editor), “Tecnology Policy Formulation and Planning : A     Reference Manual, Asian and Pacific Center for Tranfer of Technology”,     Bangalor, India, 1986.
Michael Blankeney. “National Seminar On li-censing and Technology Transfer Arrange-ment I “, 1990.
_______________, “Legal agreement for the Commercial Acquisition of Technology”, (VI). National Seminar on Licensing and Technology     Agreement, Jakarta March 7-8 1990 prepared by The International Burau  of WIPO.
Resolusi PBB No.II Tahun 1983 dari “Final Act Konvensi Hukum Laut 1982
Sudargo Gautama, ”Hukum Perdata dan Dagang Internasional”, Penerbit Alumni Bandung, 1980.

Kata Kunci : universitashukum 
 More Article Di Sini 

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika,Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus antara Universitas Esa Unggul dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat


Pada Hari Kamis 06 Desember 2012 Bertempat di Ruang 207-208 Universitas Esa Unggul (UEU), telah dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara UEU dan Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat tentang Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Penindakan Penggunaan Narkotika, Minuman Keras serta Judi di Lingkungan Kampus.
Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Universitas Esa Unggul, Bapak Dr. Ir. Arief Kusuma AP., MBA dihadiri oleh Civitas Akademika UEU, Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, Badan Narkotika Nasional (BNN) serta para orang tua mahasiswa dan undangan. Dalam sambutannya Bapak Dr. Arief Kusuma menyampaikan bahwa UEU terus berupaya dan berbenah diri dalam menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan kondusif dilingkungan UEU dan tak akan pernah mentolerir bagi berkembang dan masuknya narkoba, minuman keras dan judi di lingkungan kampus.
Penandatangan tersebut sekaligus mempertegas sikap dan komitmen UEU bahwa narkotika adalah barang haram dan mematikan yang perlu dicegah sedini mungkin, upaya ini tentu perlu didukung oleh semua pihak dengan melibatkan berbagai unsur terkait dengan bekerjasama secara aktif guna menangkal masuk dan berkembangnya narkoba, minuman keras dan judi di kampus. Dalam sambutannya Kepolisian Resort Metropolitan Jakarta Barat, yang diwakili Ajun Komisaris Besar Polisi Gembong Yudha SP, SH selaku Kasat Resnarkoba Polres Jakarta Barat menyambut baik kerjasama ini dan siap secara bersama-sama menciptakan UEU sebagai kampus yang bersih, sehat dan kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar dan terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada rusaknya sendi-sendi moral maupun tata kelola kehidupan masyarakat kampus yang harmonis.
Penandatanganan ini juga seolah menjadi sebuah angin segar bari para Civitas Akademika UEU, para orang tua dan masyarakat ditengah semakin tingginya kekhawatiran public dengan merebaknya pemakaian dan peredaran gelap narkoba, judi dan minuman keras di kampus. Demi keselamatan kita bersama, katakan tidak pada Narkoba, demikian yang disampaikan oleh Bapak David Hutapea dari BNN yang berkesempatan hadir pada acara ini dan siap mendukung UEU mencegah masuknya narkotika di kampus.

Kata Kunci : Universitas , Jakarta Barat

More News 


Rabu, 12 Desember 2012

Pengumuman Beasiswa Universitas Esa Unggul Desember 2012

Daftar Peserta Beasiswa 100% Penuh , Tahap I Desember 2012

No NAMA Asal Sekolah Kota/Propinsi
1 Shinta Eris Virnita SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor Bogor, Jawa Barat
2 Vivi Septia Audia SMA Negeri 23 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
3 Witry Sahira SMK Al Chasanah Jakarta barat, DKI Jakarta
4 Rizky Oktamara SMK Al Chasanah Jakarta barat, DKI Jakarta
5 Maria Setya Wardani SMAN 6 Jakarta Jakarta Selatan, DKI Jakarta
6 Siti Sukaesih SMA Mandiri Balaraja Tangerang, Banten
7 Agnes Firdiana Anggraini SMAN 1 Bululawang Malang, Jawa Timur
8 Selvia Monalisa SMAN 5 Tangerang Tangerang, Banten
9 Retno Yuliana SMAN 5 Kota Tangerang Tangerang, Banten
10 Dyah Eras Mita SMK Negeri 1 Pogalan Trenggalek, Jawa Timur
11 Satya Muslimah SMAN 19 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
12 Prahesti Ayu Wulandari SMAN 5 Tangerang Tangerang, Banten
13 Wihda Firdayanti SMAN 3 Cilegon Cilegon, Banten
14 Yuke Rianita SMAN 3 Cilegon Cilegon, Banten
15 Gultom Aussienadia SMA Negeri 10 Melati Samarinda, Kalimantan Timur
16 Natalia Sri Rejeki SMA Negeri 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
17 Putri Utami SMA Citra Islami Village Tangerang, Banten
18 Janice SMK Yadika 4 Tangerang, Banten
19 Noto Suoneto Candra Naya Jakarta barat, DKI Jakarta
20 Esti Prihastuti SMK Kesehatan Riksa Tangerang, Banten
21 Anggita Pradhepti SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
22 Jessica SMAN 57 Jakarta Barat Jakarta barat, DKI Jakarta
23 Fajar Jati Wicaksono SMA Telkom SandhyPutra Kota Malang, Jawa Timur
24 Henny Yunita SMA Plus PGRI Cibinong, Bogor Bogor, Jawa Barat
25 Lusi Sya’bi SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
26 Dita Octavia Kusdianti SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
27 Wanda Amelia Rahma SMAN 1 Kab. Tangerang Tangerang, Banten
28 Ayu Wulandari SMA Yadika 1 Jakarta barat, DKI Jakarta
29 Ayu Rina Hastuti SMA Yadika 1 Jakarta barat, DKI Jakarta
30 Mutmainnah SMAN 1 Mataram Mataram
31 Kaula Kalyana Mitta SMA Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta barat, DKI Jakarta
32 Raja Luth Hasan SMA N 3 Jambi Jambi
33 Arma Vica Wulandari SMK Kesehatan Riksa Tangsel
34 Nutria Sabbriella SMK N 1 Pangkalpinang Pangkalpinang, Bangka
35 Alex Gufron Mtss Ummul Quro Al-Islami Bogor, Jawa Barat
36 Kasipah SMK Tunas Harapan Jakarta Barat Jakarta barat, DKI Jakarta
37 Ide Primayu Rilmida SMA Mandiri Balaraja Tangerang, Banten
38 Maysita Utami Chaya SMAN 3 Kota Jambi Jambi

Selamat dan Sukses Kepada penerima Beasiswa penuh 100% 2013 tahap I per Desember 2012
Mengingat terbatasnya kesempatan ini, maka  kami mengundang dalam rangka acara Penandatanganan Surat Pernyataan Beasiswa 100% TA 2013 pada:

Tempat       :  Universitas Esa Unggul, Jl. Arjuna Utara 9 , Tol Tomang Kebon Jeruk  Jakarta 11510
Hari             :   Rabu, 19 Desember 2012
Jam             :  14.00- 15.00 WIB
Rang           :  207/208, Lantai II
Acara          :   Penandatanganan Pernyataan Beasiswa Penuh 100%.

Penerima Beasiswa diharapkan didampingi orang tua(Bapak atau Ibu), serta Kepala Sekolah atau Wakil, untuk turut serta  Menandatangani Surat Pernyataan Penerima Beasiswa 100 % Tahun 2013 sebagai saksi.
Mengingat pentingnya acara tersebut dimohon untuk hadir tepat waktu,
Demikian kami sampaikan, selamat atas keberhasilannya dan diucapkan terimakasih
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Sdr. Rendy (Telp.021 567 4223 (hunting) ext. 279 atau 021 704 111 59).

More News 

Univ. Esa Unggul Masuk 50 Besar 4ICU ( Rangking ke - 33)


4ICU merupakan mesin pencari pendidikan tinggi internasional yang mengulas akreditasi perguruan tinggi di dunia. Tercatat sedikitnya 12 ribu perguruan tinggi dari 200 negara telah direview oleh organisasi ini.


Perangkingan dilakukan dengan menggunakan metode algoritma dan didasarkan pada tiga mesin pencari independen seperti google page rank, yahoo inbound links dan alexa traffic rank. Berbeda dengan dengan penilaian webometrics yang dilakukan terhadap empat parameter utama, yakni size, visibility, rich files, dan scholar.

Organisasi 4ICU dibangun dengan tujuan membantu dosen dan mahasiswa internasional mencari secara spesifik informasi tentang popularitas sebuah universitas di sebuah negara.
Berikut peringkat 50 besar se-Indonesia terkait website perguruan tinggi versi 4ICU.

                  Universitas Lokasi

1  Institut Teknologi Bandung

Bandung
2  Universitas Indonesia Depok 
3  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
4  Universitas Gunadarma Depok
5  Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
6  Universitas Diponegoro Semarang 
7  Universitas Sebelas Maret Surakarta
8  Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
9  Universitas Airlangga Surabaya
10  Institut Pertanian Bogor Bogor
11  Universitas Sumatera Utara Medan
12  Universitas Padjadjaran Bandung 
13  Universitas Islam Indonesia  Yogyakarta
14  Universitas Brawijaya Malang
15  Universitas Mercu Buana Jakarta
16  Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta
17  Universitas Kristen Petra Surabaya
18  Universitas Sriwijaya Palembang 
19  Universitas Surabaya Surabaya 
20  Universitas Muhammadiyah Malang Malang 
21  Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta
22  Universitas Bina Nusantara Jakarta 
23  Universitas Muhammadiyah Surakarta Surakarta
24  Universitas Negeri Malang Malang
25  Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
26  Universitas Negeri Semarang Semarang 
27  Universitas Andalas Padang
28  Universitas Hasanuddin Makassar
29  Universitas Komputer Indonesia Bandung
30  Universitas Lampung Bandar Lampung
31  Universitas Udayana Badung 
32  Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta 
33  Universitas Esa Unggul Jakarta 
34  Universitas Bengkulu Bengkulu
35  Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Yogyakarta
36  Universitas Jember Jember
37  Universitas Tarumanagara Jakarta
38  Universitas Trisakti Jakarta
39  Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
40  Universitas Negeri Surabaya Surabaya
41  Universitas Sam Ratulangi Manado
42  Universitas Negeri Padang Padang 
43  Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tangerang
44  Universitas Riau Pekanbaru
45  Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
46  Universitas Negeri Medan Medan
47  Universitas Paramadina Jakarta
48  Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
49  Universitas Trunojoyo Bangkalan
50  Universitas Mulawarman Samarinda


Secara lengkap, pemeringkatan seluruh perguruan tinggi di Indonesia periode 2012 dapat diakses melalui laman http://www.4icu.org/id/.

More News

Senin, 10 Desember 2012

Perlindungan Keanekargaman Hayati Indonesia Dari Dampak Negatif Pengembangan Produk Bioteknologi Pertanian Modern


Fokky Fuad, SH, MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul
Bioteknologi diartikan sebagai seperangkat yang bertujuan untuk merubah materi genetic pada tanaman, hewan, dan juga mikroba yang dilakukan oleh manusia. Plasma Nutfah yang banyak tersebar di Indonesia sebagai sumber daya alam keanekaragaman hayati, seharusnya dilindungi oleh undang – undang dan dijaga oleh aparat yang berkompeten untuk memahami arti dari kekayaan sumber daya alam hayati. Karena banyak dari pengusaha yang memanfaatkan keadaan dimana aparat dan undang – undang tidak dapat memayungi/ melestarikan keadaan sumber daya alam hayati di Indonesia, sehingga kekuatan dan pemahaman juridis untuk melindungi keanekaragaman hayati dari tindakan yang dapat merusak kelestarian lingkungan tidak dapat dilakukan secara maksimal. Kepedulian akan lingkungan sebagai bagian dari hidup manusia sudah terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Maka dari itu timbul pertanyaan bagaimana cara melestarikan sumber daya alam hayati di Indonesia ini yang kian menipis.
Bioteknologi menurut agenda 21 diartikan sebagai:
“ a set techniques for bringing about specific man – made changes in the genetic materials in plants, animal, and microbes”
Dalam hal ini bioteknologi diartikan sebagai seperangkat yang bertujuan untuk merubah materi genetic pada tanaman, hewan, dan juga mikroba yang dilakukan oleh manusia. Hari Hartiko, Ph.D selaku pakar Bioteknologi Universitas Gajah Mada yang mengartikan Bioteknologi sebagai teknologi yang memanfaatkan makhluk hidup yang direkayasa untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kesejahteraan manusia (Hariko,1955: 2).
Agenda 21 juga menyatakan bahwa “The development and implementation of biotechnological product must ber done very carefully and with acute concern for human safety and protection of environment”. Dalam hal ini maka pengembangan serta implementasi produk-produk bio-teknologi harus dilakukan secara sangat hati-hati dan dengan perhatian yang serius demi keselamatan umat manusia dan juga demi melindungi lingkungan hidup. Hartiko menjelaskan bahwa penerapan bioteknologi ternyata telah memberikan kemungkinan kemanfaatan yang tidak terbatas. Hasil menipulasi gen memungkinkan suatu jasad mampu menghasilkan suatu produk yang sebelumnya tidak mungkin terjadi, para pakar berlomba menggunakan daya khayal mereka untuk memproduksi bahan yang mempunyai nilai tinggi melalui rekayasa genetika. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengembangan bioteknologi tidak berarti tanpa resiko, bahkan apabila kita tidak dapat memilih pengembangan bioteknologi secara tepat, maka akan menimbulkan dampak negatif yang besar terutama pada keanekaragaman hayati (bio-diversity)
Dr.Ir.Haryono selaku pakar ling-kungan hidup Universitas Brawijaya menjelaskan bahwa pengembangan bioteknologi pada dasarnya harus sesuai dengan arah pengembangan yang terdapat di dalam Agenda 21, yaitu meningkatkan produktivitas bahan pangan dunia (wawancara bulan Februari 1997).
Soeryo Adiwibowo me-nerangkan apabila komponen dalam ekosistem (organisme) itu musnah, maka keseimbangan sistem akan terganggu, demikian pula sebaliknya apabila ada penambahan komponen baru belum tentu ekosistem yang ada dapat menerimanya dengan baik. (Adiwibowo, 1995: 23). Pelepasan suatu makhluk baru yang belum pernah ada di alam akan menimbulkan pencemaran biologis yang bisa lebih berbahaya daripada pencemaran kimia dan nuklir. Berdasarkan Third World Resurgance pada awal perkembangan rekayasa genetika, gen-gen hanya dipindahkan abtar satu spesies untuk mendapatkan bibit tanaman atau hewan dengan sifat-sifat tertentu (Adiwibowo, 1995: 23). Dalam pengembangan selanjutnya pemindahan gen dilakukan antar berbagai spesies, sebagai contohnya gen ikan dimasukan kedalam tomat untuk mengurangi kerusakan karena pembekuan, kentang yang diberi gen ayam, tanaman jagung yang dimasuki oleh gen kunang-kunang, dan sebagainya.
Pissler & Mellon berpendapat, terdapat empat hal yang akan berpengaruh bagi lingkungan hidup akibat adanya pelepasan organisme baru atau organisme dengan sifat-sifat baru ke alam bebas terutama dampaknya bagi ekosistem, yaitu:
  1. Tanaman transgenetic dapat berubah menjadi gulma yang akan membanjiri lading, lahan dan ekosistem.
  2. Tanaman transgenetic akan menjadi perantara bagi perpindahan gen-gen baru ke tanaman liar. Dampaknya bagi ekosistem belum dapat diperkirakan.
  3. Tanaman yang direkayasa dengan menyisipkan virus akan mem-fasilitasi terciptanya virus-virus baru yang dapat menimbulkan penyakit baru bagi tanaman.
  4. Tanaman yang direkayasa mengendung bahan-bahan beracun yang bersifat obet atau pestisida akan membawa resiko bagi makhluk lain, misalnya burung dan hewan liar lain (Rissler & Mellon dalam Adiwibowo, 1995)

Otto Soemarwoto menjelaskan bahwa proses pengembangan bioteknologi akan dapat merugikan manusia yang selalu berpandangan antroposentris yang memandang segala sesuatu termasuk lingkungan hidup dari sudut pandang kepentingan manusia. Kerugian yang tampak dari rusaknya keanekaragaman hayati akan sangat kita rasakan, contohnya yaitu hilangnya spesies-spesies tanaman yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan dunia kedokteran (Soemarwoto, 1992: 4). Penggunaan teknologi yang tidak bijaksana akan mengakibatkan erosi gen, yaitu berkurangnya keanekaan gen, dimana keanekaan gen mempunyai tujuan pengedalian hama (Soemarwoto, 1994: 24). Vandana Shiva salah seorang tokoh gerakan lingkungan hidup dan pemerhati masalah pengembangan bioteknologi menjelaskan bahwa pengembangan bioteknologi pada tanaman dan keanekaragaman sifat genetic tunggal secara luas telah menimbulakan Epidemi penyakit pada jamur dan jagung di tahun 1970 (Shiva, 1994). Salah satu bahaya pelepasan organisme hasil rekayasa genetika ke alam bebas adalah kemungkinan tercemarnya jenis-jenis asli atau liar oleh gen-gen dari tanaman transgenetic. Keadaan ini dapat mengancam keanekaragaman hayati karena organisme yang telah berubah dengan akibat-akibat pada lingkungan dan kesehatan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Sekali dilepaskan dan berkembang biak, gen-gen hasil rekayasa genetika tidak dapat diisolasi kembali dari lingkungan.
Permasalahan hukum yang muncul dari adanya proses pengembangan bioteknologi ini antara lain:
1.    Dari Sudut Kelembagaan
Adanya proses perizinan yang tidak terkoordinasi terhadap peneliti asing yang hendak melakukan penelitian di Indonesia khususnya tentang keanekaragaman hayati dimana di dalamnya terkandung kekayaan plasma nutfah. Akibat negatif dari tidak terkoordinasinya proses perizinan tersebut, maka dapt dimanfaatkan dengan baik oleh para peneliti asing untuk melakukan pencurian terhadap plasma nutfah sebagai bahan dasar proses pengembangan bioteknologi. Selain itu pula apabila terjadi perusakan lingkungan maka masing-masing lembaga akan melempar tanggung jawab karena tidak terjadi koordinasi lintas sektoral.
2.    Sisi Hukum Lingkungan Inter-nasional
Banyak produk bioteknologi pertanian modern yang dilempar ke negara-negara berkembang yang sesungguhnya dilarang untuk diedarkan maupun diuji-cobakan di negara asalnya. Larangan tersebut dengan alasan bahwa produk tersebut tidak berwawasan lingkungan, sebagai contohnya adanya pengujian penelitian vaksin oleh WINSTAR terhadap produk bioteknologi berbahaya yang dilakukan di India dan Argentina (Shiva, 1994)  produk bioteknologi pertanian modern tersebut diuji-coba  di dua negara tersebut, karena kedua negara tersebut mendapat tekanan dari pemerintah Amerika Serikat untuk memberi izin melakukan uji coba pelepasan tanaman hasil rekayasa genetika tersebut. Selain Amerika Serikat, negara-negara industri maju yang tergabung di dalam G-7 juga menekankan negara-negara berkembang agar bersedia dijadikan sebagai ajang uji coba pelepasan tanaman sekaligus pemasaran dari tanaman-tanaman GMO (Genetically Modified Organism).
I.    PERMASALAHAN
Berdasarkan dari apa yang telah terurai di atas, maka permasalahan yang timbul adalah:
Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam melindungi keanekaragaman hayatinya dari akibat negatif perluasan dan penyebaran produk bioteknologi pertanian modern yang dilakukan oleh banyak negara maju?
II.    PEMBAHASAN
III.1.     Indonesia dan Kekayaan Keanekaragaman Hayati
Indonesia disebut sebagai Center Of Mega Biodiversity, kekayaan hayati Indonesia meliputi 10% jenis tanaman berbunga, 12% jenis mamalia, 16% reptilia dan amphibi, 17% jenis burung, dan 25% ikan dari jenis ikan yang ada di dunia (Konphalindo, 1995: 81). Selain itu kekayaan genetika atau variasi dalam jenispun sangat tinggi, kekayaan hayati ini merpuakan sumber hayati masyarakat sejak lama dan merupakan aset negara dalam menjalankan pembangunan bioteknologi.
Perkembangan-perkembangan baru dalam bidang rekayasa genetika menghasilkan produk-produk berupa organisme yang termodifikasi secara genetik (GMO), terutama dalam bidang pertanian dan obat-obatan (kedokteran). Perkembangan bioteknologi di dunia sat ini masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang kini banyak berada di kawasan negara berkembang, khususnya negara tropik sebagai ajang untuk tempat uji pelepasan GMO dan oleh karena itu perusahaan tersebut memperluas pula jaringan usahanya di negara kawasan tropik.

III.2. Analisis terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1994
tentang Pengesahan United
Nation Convention on Biological Diversity.

Pasal 19 Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity menyatakan:
  1. Setiap pihak wajib memberlakukan upaya-upaya legislative, administrative, dan kebijakan, bila diperlukan untuk memungkinkan peran serta yang efektif dalam kegiatan penelitian bioteknologi yang dilakukan para pihak, khususnya negara-negara berkembang yang menyediakan sumber daya genetik bagi penelitian tersebut dan bila layak;
  2. Setiap     pihak wajib melakukan upaya praktis untuk mendorong dan mengembangkan akses prioritas dengan dasar adil oleh para pihak terutama negara – negara berkembang kepada hasil dan keuntungan yang timbul dari bioteknologi yang didasarkan sumber daya genetik yang disediakan oleh para pihak-pihak tersebut. Akses semacam itu harus didasarkan persyaratan yang disetujui bersama;
  3. Para pihak wajib memper-timbangkan kebutuhan akan protocol dan model – modelnya yang menentukan prosedur yang sesuai, mencakup khususnya persetujuan yang diinformasikan terlebih dahulu dibidang pengalihan, penanganan dan pemanfaatan secara aman terhadap organisme ter-modifikasi hasil bioteknologi yang mungkin mempunyai akibat me-rugikan terhadap konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati;
  4. Para pihak yang secara langsung atau dengan melalui pejabat resmi menurut juridiksi menyediakan organisme seperti dalam ayat (3) diatas, harus menyediakan informasi yang ada tentang peraturan penggunaan dan keamanan yang diperlukan oleh pihak tersebut dalam menangani organisme semacam itu, maupun informasi yang ada mengenai dampak potensial organisme tertentu kepada pihak yang akan menerima organisme tersebut.
Pasal 19 ini secara juridis merupakan payung bagi Indonesia khususnya dan negara lain yang meratifikasi konvensi PBB ini umumnya untuk melindungi keanekaragaman hayatinya dari dampak negatif produk – produk bioteknologi modern khususnya dalam bidang pertanian. Dalam tatanan empiris tampaknya peraturan ini masih harus dikaji lebih jauh. Pasal 19 ayat 1 sesungguhnya telah mewajibkan oara fihak yang dalam hal ini tentunya juga Indonesia sebagai penyedia bahan dasar proses rekayasa genetik untuk melakukan upaya legislatif, administratif, dan juga kebijakan serta berperan secara efektif dalam penelitian bioteknologi.
Keadaan yang terjadi di Indonesia adalah tidak terdapatnya koordinasi lintas sektoral dari lembaga pemberi izin dalam kegiatan karena celah lowong perizinan ini menjadi pintu masuk bagi terciptanya kerusakan keragaman hayati Indonesia. Akibat yang timbul adalah terjadinya pencurian plasma nutfah Indonesia yang kaya dan beragam dan juga terjadinya ajang uji coba pelepasan GMO, dimana GMO tersebut dilarang untuk diuji di negara asalnya.
Dengan adanya Pasal 19 ayat 1 ini maka Indonesia harus bergerak cepat untuk melakukan koordinasi lintas sektoral sehingga akan tercapai koordinasi pengawasan satu atap, atau dapat juga hanya satu lembaga perizinan yang memiliki kewenangan hukum mengeluarkan izin penelitian di kawasan hutan Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Genetika.
Pasal 19 ayat 2 menekankan pada pembagian keuntungan yang adil khususnya bagi negara-negara ber-kembang yang memiliki kekayaan plasma nutfah sebagai bahan dasar proses rekayasa genetik. Keuntungan yang diperoleh negara industri maju dari perdagangan produk-produk bio-teknologi dalam akhir dasawarsa delapan puluhan mencapai 50 – 100 Milyar US$ (Salim, 1993: 147). Keuntungan sebesar itu tercipta di negara utara dan akan tetap berada disana, sedangkan kerugian yang diderita oleh negara – negara di kawasan tropis sebagai negara terkaya penghasil plasma nutfah dunia akan terjadi seperti yang telah terjadi di India dan Argentina.
Pasal 19 ayat 3 menekankan perlunya protocol dari konvensi yang telah diratifikasi ini khususnya dalam pemanfaatan bioteknologi secara aman. Dalam kaitan ini Indonesia telah mencoba unutk menyusun protocol mengenai keselamatan hayati (Bio-Safety) melalui lembaga pemerintah dan Lembaga Swadaya  Masyarakat. Pokok – pokok usulan Protokol Keselematan Hayati tersebut berisi antara lain :
  1. Analisis resioko dan persyaratan keselamatan hayati yang berkaitan dengan produk-produk bioteknologi baik GMO maupun produk makanan, atau obat hasil rekayasa genetika. Analisis resiko harus mencakup lingkungan-lingkungan di luar uji coba pertama kali dilakukan. Baeban pengujian untuk membuktikan keamanan produk harus dipikul pihak yang mengintroduksi;
  2. Analisis resiko dan keselamatan hayati bagi pelepasan GMO secara sengaja ke alam dan pencagahan terlepasnya GMO tanpa disengaja dari keadaan terisolir (laboratorium). Hal ini harus dilihat kasus – perkarasus;
  3. Pengaturan keselamatan untuk pengembangan penelitian dan pemanfaatan GMO serta bioteknologi di dalam negeri dengan menggunakan prinsip pencagahan (Precautionary Approach);
  4. Persyaratan alih teknologi yang berkaitan dengan proses berbahaya dalam bioteknologi;
  5. Keterbukaan dan akses informasi mengenai GMO bagi seluruh jabatan pemerintah dan masyarakat. Hal ini untuk memberi label terhadap produk – produk GMO dengan mencantumkan pula kemungkinan – kemungkinan reaksi produk tersebut pada orang – orang yang peka;
  6. Ketentuan tentang perlunya prosedur informasi (Prior Informed Consent) berkaitan dengan alih teknologi dan pelaksanaan GMO. Pihak yang meng-introduksi GMO harus mencantumkan informasi lengkap mengenai analisis produk dan kegiatan di negara asal;
  7. Penanganan dampak sosio – ekonomi dan produk – produk bioteknologi;
  8. Penanganan dampak pelepasan GMO terhadap ekosistem.

Tujuan dari diusulkannya protocol keselamatan hayati ini secara umum adalah melindungi sumber daya hayati Indonesia dari pencamaran biologos dan melindungi kesehatan masyarakat dari pemanfaatan bioteknologi yang belum teruji. Tujuan umum tersebut diperinci lagi menjadi tiga tujuan, yaitu :
  • Mencegah Indonesia dijadikan ajang uji – coba pelepasan GMO;
  • Mencegah masuknya roduk bioteknologi yang berbahaya.
  • Mengawasi pengembangan dan penggunaan GMO di Luar Negeri.

III.3.TindakanHukumPerlindungan
Keanekaragaman Hayati
Indonesia.

Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup sebagai Undang-Undang yang mengatur lingkungan hidup pertama berlaku di Indonesia secara khusus belum mengatur perlindungan terhadap keanekaragaman hayati Indonesia. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 menyatakan bahwa ketentuan tentang konservasi sember daya alam hayati dan ekosistemnya ditentukan dengan Undang-Undang. Pasal tersebut belum mampu bergerak secara operasional karena masih memerlukan sebuah Undang-Undang yang khusus mengatur konservasi sumber daya alam hayati. Bentuk Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 yang bersifat ketentuan pokok mengakibatkan Undang-Undang ini tidak mampu melindungi kondisi lingkungan hidup pada umumnya maupun keanekaragaman secara hayati secara  khusus. Pemerintah dalam hal ini harus bertindak tegas untuk menye-lamatkan kondisi lingkungan hidup yang mengalami degradasi mutu lingkungan. Pada tahun 1990 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai ketentuan hukum yang diharapkan mampu bergerak secara operasional dalam melindungi kondisi sumber daya alam hayati Indonesia.

Di dalam menimbang bagan konsideran menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dijelaskan bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan lainnya dan saling memperngruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Dalam pasal 28 Undang-Undang  Nomor 5 tahun  1990 dijelaskan bahwa pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Plasma nutfah sebagai bahan dasar proses rekayasa bioteknologi merupakan sumber kekayaan genetika yang sangat tinggi nilainya. Tingginya nilai plasma nutfah tersebut akan merugikan Indonesia dengan adanya pencurian yang terjadi di hutan Tropis Indonesia.
Pasal 21 menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk :
  • Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, me-melihara, mengangkut, dan mem-perniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
  • Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat lain di dalam dan di luar Indonesia.

Tindakan tegas terhadap para pelaku pencurian plasma nutfah tertuang di dalam Pasal 40 ayat 1 yang menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana di-maksud dalam pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 33 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000. pasal 21 di atas merupakan payung yang dapat melindungi keanekaragaman hayati dari dilakukannya uji-coba rekayasa genetika (pelepasan tanaman GMO) ke alam bebas. Selain itu pula huruf b menjaga kekayaan genetika Indonesia dari tindakan pencurian yang akan dilakukan oleh beberapa peneliti asing. Tindakan seperti yang tertuang di dalam pasal 21 ini diancam dengan pidana penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000. Pertanyaan lebih lanjut adalah: apakah pasal ini cukup efektif untuk memidanakan parapelaku uji – coba tanaman GMO ke alam bebas, mengingat keuntungan yang sangat besar (milyaran dollar) dari adanya perdagangan produk bioteknologi di pasar perdagangan internasional? Pertanyaan kedua adalah: apakah aparat  penegak hukum memiliki pengetahuan yang cukup terhadap eksistensi tanaman plasma nutfah yang dilindungi, sehingga mampu membedakan tanaman biasa dan jenis plasma nutfah? Pertanyaan ketiga: apakah aparat  penegak hukum memiliki pengetahuan yang cukup akan adanya proses bioteknologi ini, sehingga mampu membedakan adanya perbuatan biasa dengan perbuatan yang melawan hukum. Dengan dilakukannnya uji coba pelepasan tanaman GMO ke alam bebas? Pertanyaan keempat: berapa besar jumlah aparat penegak hukum yang sanggup melindungi secara luas hutan di Indonesia dari kerusakan dan pencurian tanaman plasma nutfah di Indonesia?

Tindakan pencegahan adalah salah satu upaya yang paling efektif untuk mencagah masuknya peneliti asing ke dalam hutan Indonesia yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan pencurian dan perusakan keaneka-ragaman hayati. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 telah memberikan dasar bagi upaya-upaya tersebut. Pasal 39 ayat 3 menyatakan:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berwenang untuk :
  1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  2. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  3. Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
  4. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  5. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang lain atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
  6. Membuat dan menandatangani berita acara;
  7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 39 ini mencerminkan sebuah upaya preventif (pencegahan) dari aparat penegak hukum untuk dapat mencegah pencurian terhadap kekayaan sumber daya genetika berupa plasma nutfah, selain itu mampu melindungi kawasan alam dari adanya tindakan uji coba pelepasan tanaman GMO ini ke alam bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap kondisi lingkungan alam. Upaya ini menuntut pula upaya aktif para penegak hukum untuk memperoleh keterangan tentang perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya adalah penjelasan dari fihak lain khususnya kelangkaan akademisi yang mengetahui serta menguasai proses rekayasa genetika yang sedang berlangsung.

Selain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 di atas, Undang – Undang lainnya adalah Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam konsideran menimbang huruf d dinyatakan:

“ Bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.”

Dari bunyi konsoderan di atas tampak bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada norma hukum dan memperhatikan pula tingkat kesadaran masyarakat, perkembangan lingkungan global, dan perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Permasalahan bioteknologi di Indonesia yang sangat berkaitan dengan keadaan lingkungan hidup, sampai saat ini masih menjadi hal yang tidak dapat dimengerti oleh kalangan akademisi, maupun kalangan aparat penegak hukum. Menurut penulis tamapaknya telah terjadi putusnya komunikasi hukum atau proses rekayasa genetika yang secara negatif dapat mengancam kelestarian lingkungan alam akan memperburuk kondisi lingkungan alam, karena lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia secara luas yang membutuhkan plasma nutfah sebagai bahan pangan dan obat-obatan.

Kesadaran masyarakat terhadap adanya dampak negatif yang menghasilkan produk bioteknologi yang merusak lingkungan hidup juga sangat lemah. Kesadaran hukum perlu terus ditumbuhkan mengingat proses rekayasa ini mampu merusak lingkungan hidup secara luas. Berbicara tentang kesadaran hukum, maka menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mencakup tiga hal, yaitu:
Pengetahuan terhadap hukum, kedua: penghayatan fungsi hukum, ketiga: ketaatan terhadap hukum (Munir, 1997: 47).

Pengetahuan terhadap hukum lingkungan di Indonesia masih sangat lemah, hal ini tidak saja dialami oleh masyarakat awam, akat tetapi juga aparat penegak hukum. Lemahnya pemahaman ini disadari mengingat pemahaman terhadap lingkungan membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang ilmu lingkungan. Pada sisi yang lain aparat penegak hukum dan juga masyarakat luas tidak memiliki pemahaman dan penguasaan ilmu lingkungan itu sendiri, sehingga persoalan lingkungan hidup bukanlah merupakan bagian dari hidup masnusia itu sendiri, tetapi merupakan bagian hidup yang terpisah dari hidup manusia. Komdisi ini sangat memperihatinkan mengingat proses perusakan lingkungan hidup khususnya yang ditimbulkan dengan adanya proses rekayasa genetika terus berlangsung.

Penghayatan fungsi hukum dan ketaatan hukum di Indonesia juga sangat lemah, hal ini dapat dilihat dengan tindakan – tindakan di luar hukum. Selain itu pula munculnya perbuatan melawan hukum sebagai apresiasi atau kekecewaan masyarakat mungkin memperparah kondisi lingkungan hidup sebagai modal keberlanjutan pembangunan bangsa.

Perusakan lingkungan hidup menurut pasal 1 angka 14 UU No. 23 tahun 1997 diartikan sebagai :
“Tindakan yang menimbulkan perbuatan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.
Proses rekayasa dengan melepaskan ke alam bebas tanaman GMO telah mengakibatkan perubahan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sifat fisik dan hayatti, hal ini di-buktikan dengan munculnya epidemi jagung yang melanda India pada tahun 1970. sampai saat ini belum terdapat bukti konkrit terhadap pelepasan tanaman GMO ke alam bebas di Indonesia, walau demikian tidak berarti bahwa kejadian yang menimpa India dan Argentina  tidak terjadi di Indonesia. Tindakan pencegahan dapat segera dilakukan mengingat UU No. 23 juga memberikan pijakan hukum melakukan upaya – upaya pencegahan:
Pasal 8 ayat 2 huruf b dan c menyatakan:

“Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah: mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk sumber daya genetika. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang/ atau alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika”.

Pemerintah dalam undang-undang ini dituntut melakukan upaya secara aktif dengan cara melakukan penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup, pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk didalamnya adalah sumber daya genetika. Pemerintah dalam hal ini perlu segera mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara objek hukum(alam,tanaman GMO,plasma nutfah) dengan subjek hukum (manusia/peneliti). Dalam hal ini yang perlu diatur adalah sejauh mana penelitian tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan dalam kaitan dengan  perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia.

Peraturan tersebut perlu segera diimplementasikan mengingat perlindungan terhadap keanekaragaman hayati Indonesia sangat mendesak untuk dilindungi apabila dilihat dari dampak negatif sebuah proses pengembangan  bioteknologi. Perlu pula dikaji analisis terhadap dampak yang ditimbulkan dari adanya kegiatan rekayasa tesebut bagi lingkungan alam dan juga bagi manusia itu sendiri.

Pasal 41 ayat 1 UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan sanksi pidana terhadap adanya pelepasan GMO yang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup, yang menyatakan:

Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbutan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)

Pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan adanya ancaman pidana bagi pelaku pelepasan tanaman GMO yang membahayakan kondisi lingkungan hidup, akan tetapi sudah cukup memberikan ancaman ditinjau dari setiap perbuatan hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau kerusakan terhadap lingkungan hidup adalah tindakan pencegahan, mengingat dampak yang sangat besar terhadap kondisi lingkungan hidup.

III.4. Efektifitas Hukum dalam Perlindungan terhadap Keaneka-ragaman Hayati di Indonesia.
Kesadaran untuk melindungi lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati indonesia sebagai salah satu mega-biodiversity dunia harus segera dilakukan dalam bentuk sosialisasi hukum. Bergeraknya hukum dalam masyarakat (law in action) sangat dipengaruhi oleh tiga hal, pertama, faktor aparat penegak hukum, dalam hal ini apakah aparat penegak hukum telah memahami aturan – aturan hukum yang ada sebagai sebuah payung perlindungan?

Kedua, apakah hukum secara substansi telah memuat norma – norma yang mampu melindungi lingkungan alam khususnya dalam hal ini adalah keanekaragaman hayati di Indonesia? Ketiga, kultur hukum, dalam hal ini perlu dikaji secara lebih mendalam lagi, apakah masyarakat memiliki kultur hukum yang berbeda dengan norma hukum yang diberlakukan oleh negara?

Bagaimanakah ketiga parameter di atas apabila dikaitkan dengan kondisi empiris? Parameter pertama adalah aparat penegak hukum, aparat penegak hukum Indonesia masih belum memahami arti penting kondisi lingkungan khususnya keanekaragaman hayati sebagai sebuah karunia Tuhan bagi keberlangsungan peradaban manusia. Aparat hukum masih memiliki kendala dalam menegakan aturan – aturan hukum dalam bidang lingkungan hidup, antara lain:

Pertama adalah, lemahnya pengetahuan para aparat penegak hukum tentang fungsi, kegunaan, dan tujuan kelestarian lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati. Kedua, masih belum dimilikinya pengetahuan akan dampak negatif yang dapat timbul dari adanya pengembangan produk-produk bioteknologi terhadap kondisi lingkungan hidup oleh aparat penegak hukum. Ketiga, terbatasnya jumlah aparat penegak hukum yang tersedia untuk melindungi luas wilayah hutan Indonesia dimana plasma nutfah berada, dalam arti lain bahwa terbatasnya jumlah aparat hukum yang tersedia untuk melindungi luas sebaran keanekaragaman hayati Indonesia. Keempat, terbatasnya peralatan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang mampu melihat kondisi kerusakan keanekaragaman hayati Indonesia dari adanya sebuah uji coba pelepasan GMO ke alam bebas.

III. 5.  Rekomendasi dan Solusi
Mengingat begitu parahnya dampak yang ditimbulkan dari adanya uji-coba rekayasa genetika terhadap kondisi lingkungan hidup dan juga terjadinya pencurian plasma nutfah di Indonesia, maka penulis merekomendasikan beberapa hal, antara lain :
  1. Dari sisi administrasi: perlu segera dilakukan upaya koordinasi terhadap proses perizinan penelitian di Indonesia. Hal ini perlu segera dilakukan mengingat banyaknya pintu izin penelitian yang tidak terkoordinasi mengakibatkan peneliti asing acapkali melakukan pencurian plasma nutfah Indonesia. Pentingnya koordinasi lintas sektoral ini untuk mencegah terjadinya proses rekayasa yang akan merugikan kondisi lingkungan Indonesia.
  2. Perlu adanya komunikasi hukum yang efektif, mengingat arti penting lingkungan hidup, khususnya keanekaragaman hayati yang belum banyak disadari dan dipahami oleh masyarakat luas, maupun oleh aparat penegak hukum. Akibatnya adalah lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia;
  3. Perlu adanya koordinasi antar negara, khususnya antara negara – negara yang memiliki keaneka-ragaman hayati agar kekayaan keanekaragaman hayati tidak rusak bahkan mengalami kepunahan oleh tindakan yang merusak kondisi keanekaragaman hayati khususnya lingkungan hidup pada umumnya. Selain itu pula kerjasama antar negara diharapkan akan membentuk sebuah kekuatan posisi tawar yang lebih baik dari adanya tekanan yang ditimbulkan negara industri maju;
  4. Perlu segera dilakukan pembenahan terhadap kondisi aparat penegak hukum dalam melakukan Law Enforcement.

Referensi:
Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity
Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

More Article Di Sini 

The Implementation of Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power in Indonesia, A Comparative Study

Share
Fachri Bey, SH, MM.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Esa Unggul

Victimology belives that in criminal offenses, the victims are those who mast suffered among all who took part in the offense. In exiting criminal justice system, if there is a criminal offense, ussually both the police, the prosecutor, and the judge pay attention only to the accused. What about the victim? Highly likely, nobody pys adequate attention to them. The victim must take care of them selves; they have to pay all treatment expenses, medical and all hospital cost including counseling charge and health rehabilitation. The victims who become as witnesses must come to investigation place on tehir own, while the accused are provided with special transportation. In the investigation place the accused is given as separate resting place while the victims and witnesses, sadly, must look after them anywhere else.

The needs of introducing and implementing victimology as a subject, which deeply concern with victim of criminal offense’s matters began to be discussed in Indonesia in the early 1980’s. This subject, later on well known as victimology, has been taught in Indonesia since 1982 in various universities all over Indonesia and also in police academy, police science academy and in the attorney / prosecutor and judges (both civil and military) training throughout Indonesia.

Following this initial development, victimology has been taught in any universities out of Jakarta area. Afterward, a series of seminars were conducted to enrich and develop the subject. In 1986, the lecturers of victimology have adopted some related regulation concerning protection to the victim of crime, such as UN Declaration.

Victimology believes that in criminal offenses, the victims are those who most suffered among all who took part in the offense. In existing criminal justice system, if there is a criminal offense, usually both the police, the prosecutor, and the judge pay attention only to the accused. What about the victims? Highly likely, nobody pays adequate attention to them. The victims must take care of themselves. Instead, after the occurrence of criminal offenses such as rape, the victims must go to the hospital by themselves; they have to pay all treatment expenses, medical and all hospital cost including counseling charge and health rehabilitation. The victims who become as witnesses must come to investigation place on their own, while the accused are provided with special transportation. In the investigation place the accused is given a separate resting place while the victims and witnesses, sadly, must look after them anywhere else.

During the testimony, an investigator explores all the facts without considering the feelings of the victims. This is often a traumatic experience, which exacerbates the trauma caused by the criminal offenses encountered by the victim. The same things also occur when the prosecutor questions the witness in a court that bluntly treats the victim as if he/she is guilty in the criminal offense.

The definition of victims in UN 1985 Declaration regarding the Justice Basic Principles for the Victim of A Criminal Offenses and Abuse of Power is that each person, both individually and collectively, has suffered from physical and mental damages in their property due to a criminal offense that has legal basis to be categorized as a criminal offense.

The normative definition of a crime: Offenses that are against a provision of the criminal law and are sanctioned with criminal law penalty. While the social definition is: Any act that damages other people and is given social sanction from the people. The definition of violence itself is according to the statistical data issued by the police and includes nine types of crime such as robbery, holdup, hijacking, motor vehicle stealing, blackmailing, torture and rape.

Warnings from sociologist and criminologist alert us that economic gloom will cause increasing number of crime. In a preliminary survey, it seems that such an increase has been dramatic during the past four years and certainly the victims has also increased. Not included is the “dark figure” which is the crimes not reported by the victims or witnesses or unidentified by the official at all. According to an opinion delivered by the United States National Crime Commission in 1965, the dark figure is very high compared to previous estimates.

In Indonesia criminal statistic there are six major crimes such as conventional crime which inflict victims e.g. crime against human body, including murder, crime against decency including adultery, rape, and gambling, theft, including burglary and robbery, narcotic, embezzlement, and criminal assault. These six crimes highly disturb the security and comfort of many people because they threaten their property, life and dignity.
Instead of crimes mentioned above, there is also unconventional crime e.g. crime against women and children, trafficking, prostitution, domestic violence, sodomy, incest, children pornography, kidnapping, forced migration, crime against environmental & ecological, white collar crime, crime in public services, racial riot, religious conflict, ethnic conflict, military crime, police crime, traffic violence and crime against consumer rights.

In terms of the existing objective conditions and the preliminary survey that the writer conducted, and observation of data provided by officials, there is a lack of attention upon the victims of the crimes. The attention is focused on heavier punishment for the accused, with more attention being paid to the rights of the accused, and treatment of the accused in the correctional institutions. In several cases, such as in the survey that has been conducted, there is more attention to the role played by the victim in the occurrence of legal action, relationship between the victims and the accused of the crime, the nature of vulnerability of the victim, the possibility of becoming “recidivist”, the role of victim in the criminal court system, the fear of the victim, his attitudes on regulation and law enforcement. There is almost no attention given to service of regulation for the victims of violence. The most frequent response or reaction of the people, which is as if it has become the culture among them, is a very severe treatment to the accused itself without giving assistance to the victims. For example, the devastating response and reaction of the people towards robbers where he is immediately put on trial by the mob often set on fire and killed on the spot. When a suspected rapist is found he will be beaten by the mob and even burned it death.

Most discouraging situation is when the victims of the crime are women and children or senior citizens. They are physically and mentally weak. Women, children victims, old peoples, are called latent victims. The women, old people, and children often find difficulties in telling the criminal what they have experienced, what the accused has done to them. For example, the women and children who are raped or are the victims of sodomy suffer in their heart because they do not have the courage to tell of their experience because of the threat of the accused. Of course, the women and children will suffer for a long time from the traumatic experience of the crime itself. At the same time, the parents or the people do not know how to respond or react to the criminal offenses. Even it is more ironic because the women often become physical victims of the crime of their own husband. Likewise, the children often become the victims of crime from other family members. Several countries have made some efforts to give protection to the women and children with “zero tolerance policy” regarding the criminal offenses to women and children. This is in line with the UN Human Rights Declaration 1948 and UN Children Rights Convention 1989. In some cases, the court gives light sentences to those found guilty of rape of women and children, while the victims will suffer from traumatic experience for their entire lives.

The response and reaction to distributors of narcotics, gambling and prostitution in several Asian countries have recently have become very serious. They have burnt the houses of suspect, burnt hotels which are being suspected as places of prostitution, gambling and distributing of narcotics and have beaten the owners to death. This is, most likely, because they have become nauseated by the crime and that they have lost patience with waitng for appropriate offenses by officials. However, the people have only the sadness for the victims but without further follow-up. At present, there is clearly a lack of attention and political will, both from legislative and executive bodies.

Similarly, the state officials almost do nothing for the sake of the victims. The weakness in the service of the state officials is due to the lack of understanding and perception regarding the victims handling because since they had become officials there is no training how to help the victims, and the unavailability of the system and procedures regarding the victims handling, the unavailability of facilities and infrastructure, the no-fund allocation for handling the victims in the short term and long term budgets. Likewise, the people have not received information regarding the rules/regulations regarding in the rights of victims, what should be done if someone becomes a victim in criminal offenses. How to keep the evidence remain valuable in crimes such as rape, where the victim tends to clean herself, while the evidence such as sperm, hair or body cell that are scratched should be maintained to be taken by the police.

The UN Convention concerned the victim’s rights of criminal offenses regarding damages, compensation, restitution and assistance for rehabilitation of the victims. Until now, many countries that ratified the convention have not enacted the provision of the ordinance as a follow-up obliged by convention’s ratification. There are only a few people who know the convention very well, since it has not disseminated to academic groups, legislative, executive and judicial bodies.

There are only a small number of judges that are courageous enough to sentence the accused of criminal offenses in such way that directly fixes the remedies, compensation, restitution or rehabilitation cost for the victim of crime.  This is because the lack of ordinances regarding the victims to be used by the court judge or other officials.

The concern of criminology towards the victims of the crime did not start as early as their concern about the criminal offenses itself. The criminology bibliography indicates that since 1940 there are criminology experts that have written about victims such as Von Hentig, Mendelssohn and Schaffer. In Indonesia, a couple of experts such as J.E. Sahetapy, Mardjono Reksodiputro and Arif Gosita have been the initiators of the study of victims. These experts have the opinion that, to date, the attention has been more focused on the role of the accused and efforts to relieve their suffering and protecting their rights without paying attention to the victims of the crimes themselves.

Development of regulation concerning victimology in Indonesia
In the provisions of ordinance in Indonesia there are several provisions that protect the victim from becoming the victim of criminal offenses and abuse of power. They are damaged in physical or emotional terms, or oppressed in terms of sexual and avoid inappropriate offenses, have become negligent or helpless in supervision, protection appropriately over the victimization of children (?) In the criminal law regulation Indonesia, there are many sections with severe punishment for the adult offender who sexually harasses children. But no section talks about compensation to the victim. They talk only about punishment to the offender. Above all, in Indonesia people are discussing the Victim and Eyewitness Bill which is highly expected to protect and help victims and eyewitness. But also, the same problem is that no section talks about victim compensation.

Compensation in Indonesia, currently, is available only for the offender who suffers from wrongful arrest and wrongful conviction.
The ordinance protection and legal guarantee for the victims of criminal offenses in Indonesia regarding the political will of the legislature to propose the Draft in the Parliament process it into ordinance and its implementation in the State policy in that aspect?

The socialization of regulations, regulation protection and guarantee of the regulation for the victims to the community that the people know regarding the rights of victims, and implementation of judge decision in the court. The government provides funds and include in the State Budget Plan.

How so the effectiveness of the system and procedure preparation of legal protection and enforcement service of the laws for the victims of the criminal offenses and how is the effectiveness of provision of infrastructures and facilities of its enforcement; it depends on the political will of the Government.

The most importance of the extent of effectiveness to which provision for such things as police officials, social workers employee, health employees, children protection employees that have understanding and perception and provide good protection and service of the laws and obtain the rights of criminal offenses in Indonesia.
In Indonesia anti terrorism law, and also in Government Decree concerning the protection for the witness and victim, the protections are as follows:

Protection for private security for victim is provided in every stages, initiated by government official, confidential of private identity or new private identity, providing information before the court where the victim should not meet face to face with the offender and the right to obtain compensation, restitution, assistance and rehabilitation.

In current regulation, there are no provision about money damages compensation in exact amount, but it will be enacted in another provision. The compensation will paid by insurance, government budget and from the other sources.
Referensi:
Cartis, Sarah. Juvenile Offending, Prevention through Intermediate Treatment, B.T. Batsford Ltd. London, 1989.
Cobley, Cathy. Child Abuse & the Law. London, Cavendish Publishing Limited, 1995.
Cox, Steven. M & Conrad, John J. Juvenile Justice, Wm.C. Brown Publisher Iowa, 1987.
Gosita, Arif, Dr. Problems of Criminal Victims. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, 2004.
Human Rights and Human Obligations to Serve the Children Victims of Crime (Notes). Delivered in the Victims Seminar in the
University of Brawijaya, Malang, 1986.
Relevancy of Victims to the Service of Rape Victims, Jakarta: Ind Hill-Co, 1987.
Victims and KUHAP (Criminal Law of Procedures Code) that regulates the Compensation for Victims, Jakarta: Akademikia Pressindo, 1986.
Reksodiputro, Reksodiputro. Criminology and Criminal Justice System. Jakarta: Center for Legal Service and Legal Assistance (former Criminology Institute) University of Indonesia, 1994.
Human Rights in Criminal Justice System. Jakarta: Center for Justice Service and Legal Aids, 1994.
Growing economic development and Crime. Jakarta: Center for Justice Service and Legal Aids, 1994.
Krause, D. Harry. Family Law in a nutshell, West Publishing Co. St.Paul Minn. 1995.
Morris, Allison & Giller, Henri. Understanding Juvenile Justice, Croom Helm London, 1987.
Sahetapy, J.E. Victimology an Anthology. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
Sahetapy, J.E, et al. Victimization Anthology. Bandung: Eresco, 1995.
Strak, James and Howard W. Goldenstein. The Rights of Crime Victims, New York, Bantam Books, 1985.
Santoso, Topo. Sexuality and Criminal Law. Jakarta Hill-Co, 1997.
Crisis and Criminality after Reformation. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Silver, Don. Parent’s Guide to wills & trust, Adam Hall Publishing, Los Angeles, 1992.
Waters, Robert Craig. Kids the Law and You, Self Counsel Press Inc, Washington, 1994.
White, Richard & Lowe, Nigel. A guide to Children Act 1989, Butterworth, London, 1990.

More Article Di Sini