PERJANJIAN ALIH TEKNOLOGI MELALUI USAHA PATUNGAN ANTARA ”ENTERPRISE” DENGAN PERUSAHAAN PERINTIS
Fitria Olivia
Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
fitria.olivia@esaunggul.ac.id
Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
fitria.olivia@esaunggul.ac.id
Abstract
Natural resources in oceanic seabed has
been declared in International Maritime Law Convention as heritage for
all people, which it exploration, exploitation, production, and
distribution, required science and technology. This thing constituted by
reality that limited science and technology mastered by several
advanced industrial states, while natural resources, geographically not
spread over widely in the world, most often the biggest natural
resources spread in several developing countries.To avoid domination
monopolies the source of natural resources by developed countries
(industrial states) with their science, technological and capital,
required the compensation for exploitation and exploration with 1 (one)
term and condition which is the existence of transfer of technology
with hope can be distributed fairly among developing countries. Through
International Maritime Law Convention, arranged rights and obligations
of developed countries (industrial states) to transfer of their
techno-logy to developing countries as receiver.Indonesia as member of
International Maritime Law Con-vention has adopted the convention into
national legislation. Transfer of technology aspects between Investor
that mastering science and technological with Join Company to be certain
company, intentio-nally formed for the agenda to explored and exploited
the natural resources and implication must be evaluated from national
importance for the agenda of wealthy people.
Keywords: Transformation, Technology, AgreementPendahuluan
Berkembangnya kemajuan teknologi yang
menakjubkan dewasa ini yang telah membawa persoalan-persoalan baru bagi
hukum internasioanal adalah kemungkinannya eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan alam mineral di dasar laut samudra dalam yang jauh dari pantai,
(Hasyim Djalal, 1979) misalnya minyak bumi dan gas alam cair. Persoalan
hukum internasioanal muncul akibat status area penambangan berada di
lokasi yang dinyatakan sebagai samudra internasional. Disamping itu,
jenis kan-dungan sumber mineral alamnya menguasai hajat hidup orang
banyak dikemudian hari dengan jumlah dan sebaran yang terbatas diseluruh
perut bumi.
Seperti dipahami, bahwa kemampuan
tek-nologi penambangan dasar laut samudra dalam baru hanya dikuasai oleh
sejumlah kecil negara industri barat yang maju, dengan ditopang oleh
struktur kekuatan finansial yang ”menggurita” keseluruh pelosok dunia,
berhadapan dengan negara-negara ber-kembang yang bahkan diantaranya
berusia belia karena baru lepas dari penjajahan fisik dengan ting-kat
kemapanan ekonomi dan penguasaan teknologi yang kurang menggembirakan,
ditambah kemungkinan di wilayah teritorialnya mengandung bahan galian
mineral. Kesenjangan ini menimbulkan kegundahan akan ancaman
”tersandarnya kedaulatan negara” karena ketergantungan akan produk
mineral atas mineral yang dikuasai oleh teknologi negara-negara industri
barat dan Jepang. (Elisabeth Mann Borgese and Norton Ginsburg, 1986)
Agar penambangan mineral ini tidak hanya
dikuasai oleh negara-negara industri maju, maka perlu diciptakan rezim
hukum internasioanal yang dapat mengakomodasi kepentingan negara-negara
berkembang yang teknologinya belum mampu dengan jalan mentransfer
teknologi guna menunjang pembangunan ekonomi dan kemajuan kesejahteraan
rakyatnya, sehingga tercipta Tata Ekonomi Dunia Baru yang adil dan
seimbang. Berkat perjuangan Kelompok 77 negara-negara berkembang,
setelah melalui perundingan intensif yang memakan waktu 9 (sembilan)
tahun, maka dapa tanggal 10 Desember 1982 ditanda-tangani Konvensi PBB
tentang Hukum Laut tentang pembagian Area Interna-sional yang memisahkan
dengan Area Teritorial negara, dan kepemilikan sumber alam mineral yang
dikandung di Area Internasioanal oleh 119 (seratus sembilan belas)
negara di Jamaika.
Kepemilikan kandungan sumber daya
mine-ral di Area Internasioanal (kawasan dasar laut internasional di
luar badas yurisdiksi nasional) telah ditetapkan sebagai ”warisan
bersama umat manusia” menurut Pasal 136 Konvensi Hukum Laut 1982. Dan
untuk mengatur, mengawasi serta mengelolanya telah dibentuk Badan
Otorita.
Kewenangan Badan Otorita dalam peranan
aktifnya untuk kegiatan transfer teknologi tercermin dalam Pasal 144
Konvensi Hukum Laut 1982, sebagai berikut:
1. Otorita diberikan kewenangan untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut :- Memperoleh ilmu dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung kegiatan penamba-ngan di Area.
- Mengusahakan terlaksananya atau setidaktidaknya mendorong kearah alih teknologi kepada negara-negara berkembang.
2. Otorita bersama-sama dengan semua negara anggota Konvensi harus mengadakan kerja-sama seerat-eratnya guna :
- mengembangkan program alih teknologi baik pada ”Enterprise” maupun negara-negara berkembang menurut syarat-syarat dan ketentuan alih teknologi yang adil dan wa-jar.
- Memberikan kesempatan kepada tenaga pekerja dari negara-negara berkembang untuk mengikuti program pelatihan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan.
Hak atas informasi perkembangan
teknologi yang diterapkan di Area yang dituntut oleh negara-negara
berkembang diakomodasikan dalam Pasal 13 ”Charter of Economic and Duties
of States” Resolusi PBB No. 3281 tahun 1984 yang menyatakan :
”Every state has the right to benefit from the advan-cement and developments in science and technology for the acceleration of its economic and science development”.
Penggambaran prinsip berkeadilan
diantara Negara-negara berkembang tercermin dalam Pasal 274 Konvensi
Hukum Laut tahun 1984 yang antara lain menyatakan :
”Dengan memperhatikan semua kepentingan
hu-kum, termasuk hak dan kewajiban dari pemilik dan penerima teknologi,
otorita harus menjamin keikutsertakan warga negara dari negara-negara
berkem-bang dalam program pelatihan berdasarkan prinsip distribusi
geografis yang adil”
Prinsip distribusi geografis yang adil
harus pula menimbang kepentingan-kepentingan negara-negara berkembang
karena adanya suatu kenyataan bahwa tidak semua negara memiliki kondisi
dan situasi geografis yang sama dan jenis sumber alam mineral yang
terkandung di dalamnya yang dihasilkan oleh alam dengan jumlah yang
terbatas sangat spesifik karakteristiknya, dan disamping kemampuan
tingkat kualitas sumber daya manusianya yang beragam.
Perlu disadari, kegiatan penambangan di
Area meliputi bebagai bidang disiplin ilmu yang diterapkan dalam
kegiatannya: Eksplorasi dan eksplorasi, produksi, penyimpanan dan
pengemasan, distri-busi dan tranportasi, pemasaran, administrasi dan
manajemen, dan perbaikan dan pencegahan dampak lingkungan.
Jadi tuntutan keadilan yang disuarakan
leh negara-negara berkembang adalah bukan dalam bentuk penerimaan modal,
akan tetapi dalam perolehan informasi, baik melalui program pelatihan
maupun kegiatan riset dan pengembangan teknologi yang tertuang dalam
Pasal 247 Konvensi Hukum Laut tahun 1984.
Keengganan negara-negara industri maju untuk membagi pengetahuan teknologi, dikarenakan pada prinsipnya mereka pun membutuhkan waktu yang panjang, sejumlah pakar yang handal, pembangunan lembaga-lembaga penelitian yang maju yang kesemuanya ditunjang oleh aliran dana penelitian yang tidaklah murah. Disamping itu, tidak setiap teknologi itu cocok begitu saja pada kondisi dan situasi setempat, sehingga masih diperlukan lagi modifikasi dan inovasi-inovasi baru untuk penerapannya, yang sebelumnya telah dilakukan pengkajian-pengkajian terhadap aspek-aspek teknis dan non-teknis, yang berarti dibutuhkan lagi waktu, tenaga ahli dan sudah barang tentu dana penelitian riset dan pengembangan teknologi. Maka perlu juga disadari jerih payah negara-negara maju perlu juga dihargai, dengan menggantikan pengeluaran-pengeluaran mereka ketika melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dengan harga yang wajar dalam kerangka perlindungan hukum terhadap temuan-temuan mereka.
Dalam rangka melindungi kepentingan
pemilik teknologi, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 267 Konvensi Hukum
Laut 1982 yang antara lain menyatakan bahwa :
”Stats, shall have dua regard for all
legitimation interests including inter alia, the rights and duties of
holders, suppliers and recipients of marine technology”
Menimbang keberadaan pasar teknologi
yang bersifat oligopoly dengan harga yang dirasa tidak adil dan tidak
wajar, maka perlu mengatur mekanisme transfer teknologi yang melindungi
para pilah yang berikatan dalam bertransaksi teknologi, yang meliputi
(Ita Gambiro, 1986):
- Pengaturan saluran resmi transfer teknologi, dan jenis perikatan diantara para pihak
- Pengaturan dan pengamanan atas hak dan kewajiban para pihak atas perikatan transfer teknologi
- Pengaturan, pengawasan dan pengamanan terhadap teknologi
- Kelalaian dalam perikatan
- Ketidak-sepakatan
- Berakhirnya perikatan
- Pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa.
Atas dasar itu maka dibuat perangkat hukum
yang memuat syarat-syarat dan ketentuan alih teknologi yang adil dan
layak, sesuai dengan Pasal 144 adalah Pasal 267 Konvensi Jo Pasal 271
Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan bahwa:
”States, directly or through competent
international organization, shell promote the establishment of generally
accepted guidelines, criteris and standard or the transfer of marine
tecnology on bilateral ba-sis, or within the framework international
organiza-tion and other fora, ataking into account, in parti-cular, the
interst and needs of developin states”
Keikutsertaan Indonesia adalah untuk mengajukan usulan dan mengadopsi pedoman-pedoman standar internasioanal yang mengatur mekanis-me penyelenggarakan transfer teknologi guna dite-rapkan pada Area territorial nasional, mengingat ke-mungkinan potensi alam Indonesia baik yang berada di landas kontinen maupun jauh dari lepas pantai dalam Area territorial nasionalnya yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi, guna menjamin ke-majuan ekonomi, tidak terganggunya stabilitas kea-manan dan politik serta social budaya, dengan pili-han-pilihan saluran-saluran transfer teknologi se-perti :
Keikutsertaan Indonesia adalah untuk mengajukan usulan dan mengadopsi pedoman-pedoman standar internasioanal yang mengatur mekanis-me penyelenggarakan transfer teknologi guna dite-rapkan pada Area territorial nasional, mengingat ke-mungkinan potensi alam Indonesia baik yang berada di landas kontinen maupun jauh dari lepas pantai dalam Area territorial nasionalnya yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi, guna menjamin ke-majuan ekonomi, tidak terganggunya stabilitas kea-manan dan politik serta social budaya, dengan pili-han-pilihan saluran-saluran transfer teknologi se-perti :
- Mempekerjakan tenaga ahli asing perorangan
- Penyelenggaraan supplai dari mesin-mesin dan peralatan lainnya
- Perjanjian lisensi (technology license agree-ment)
- Expertise dan bntuan atau asistance teknis
Pedoman standar aaluran transfer teknologi
yang dikembangkan oleh Otorita Internasioanal se-bagai operator
transfer teknologi sesuai Pasal 5 (1) dan (2) Annex III Konvensi Hukum
Laut 1982 ada-lah perusahaan-perusahaan yang disebut “Enter-prise”.
Adopsi pedoman-pedoman standar interna-sional guna diterapkan pada Area territorial nasional terutama ditujukan kepada :
- Pembentukan Badan Otorita guna mengatur, mengawasi dan mengamankan pembuatan dan implementasi isi perikatan transfer teknologi;
- Pembentukan Badan Operator pelaksana saluran transfer teknologi dalam hal ini perusahaan pa-tungan yang terlepas dari masing-masing in-duknya;
- Pengawasan terhadap teknologi dan kewajiban atas pembayaran-pembayaran akibat adanya transfer teknologi.
- Investor perintis asing dapat berupa :
- Negara asing yang mengembangkan prinsip kerja sama yang dibingkai dalam perikatan Grants atau Loan;
- Perusahaan asing yang melakukan perikatan dalam bentuk kontrak seperti penggunaan Technical Assistance Contract, PatenLicence, Management Contract, Franchise, dan ada pula de-ngan membangun perusahaan baru lepas dari induk perusahaan berupa Joint Venture atau Sub-sidiary;
- Lembaga-lembaga Internasional yang memben-tuk perikatan dengan kegiatan antar Kamar-kamar dagang, lembaga penelitian, universitas, mengikutsertakan ahli dalam pertukaran pikiran di seminar-seminar internasional.
Pengaturan, pengawasan dan pengamanan
teknologi dimaksudkan untuk memastikan bahwa teknologi yang ditransfer
merupakan teknologi yang sama sekali baru, atau belum pernah
dikembangkan di tahan air, memiliki kegunaan yang tinggi, waktu yang
singkat untuk dikuasai dan tidak mengancam kelestarian alam, dan juga
harus dapat dibayar dengan harga yang dirasa wajar dan adil.
Pengaturan, pengawasan dan pengamanan isi
perikatan dan implementasinya bertujuan agar tidak diakomodasikannya
dalam perikatan segala pembatasan dan larangan oleh pihak pemberi
teknologi kepada perusahaan patungan berupa :
- Pembatasan-pembatasan terhadap kemampuan produksi perusahaan patungan
- Pembatasan bidang pembayaran
- Pelaksanaan lainnya yang mempunyai akibat yang sama atau serupa
Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :
-
Mengingat peran pentingnya pembentukan Badan Otoritas yang akan mengatur, mengawasi dan menganankan pembuatan perikatan dan implementasi isi perikatan di Area yurisdiksi Indonesia, dibutuhkan aturan perundang-undangan yang pasti dan dapat diterima oleh masyarakat internasional. Dapatkah ketentuan-ketentuan alih teknologi yang diatur Konvensi Hukum Laut 1982 diadopsi secara langsung kedalam perundang-undangan di Indonesia ?
- Badan yang dipilih sebagai operator untuk salu-ran transfer teknologi yang bagaimana yang cocok ?
- Harus mengacu pada hukum yang mana dan tunduk pada yurisdiksi negara mana, menim-bang salah satu pihak merupakan badan asing ?
-
Bagaimana pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perikatan baik diantar para pihak, para pihak dengan teknologi dan pengaturan terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh teknologi agar dapat ditransfer ?
Dari berbagai masalah yang dikemukakan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :
- Mempelajari hukum apa dan yurisdiksi mana yang berlaku bagi badan saluran-saluran transfer teknologi akibat adanya perikatan dengan invenstor perintis
-
Mempelajari dan meneliti landasan teoritis yang mendukung penerapan ketentuan-ketentuan alih teknologi yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terhadap kontrak alih teknologi khusus yang dibuat dalam rangka perikatan transfer teknologi di atas. Selain itu akan diteliti pengaruh dari kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi penambangan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya perundang-undangan tentang teknologi.
-
Mempelajari dan meneliti masalah penerapan hukum organisasi internasional pada kontrak alih teknologi
-
Selain itu, akan diteliti pengaruh dari kegiatan riset dan pengembangan teknologi penambangan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya perundang-undangan mengenai teknologi.
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan
dapat menemukan model pengaturan alih teknologi. Penulisan ini
menggunakan metode penelitian des-kriptif-analitis-komperatif dengan
pendekatan nonyuridis dan yuridis. Pendekatan non-yuridis bertujuan
untuk mengungkapkan fakta-fakta bahwa meningkatnya ketergantungan
masyarakat internasional terhadap Area sebagai sumber daya alam mineral
di-masa yang akan datang dan belum meratanya kepemilikan teknologi
penambangan ini mengharuskan adanya alih teknologi dari perusahaan
multinasional negara-negara maju kepada perusahaan patngan dan
negara-negara berkembang. Uraian-uraian yang bersifat non-yuridis dapat
membantu menganalisa masalah-masalah hukum karena adanya perbaikan atau
penemuan teknologi yang dibuat oleh searang ilmuwan dari negara-negara
berkembang.
Pendekatan yuridis dilakukan dengan
melihat dan mempelajari ketentuan alih teknologi dalam Konvensi Hukum
Laut 1982 dibandingkan dengan perjanjian kontrak karya antara
Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia dengan kontraktor
serta perjanjian alih teknologi dalam perjanjian usaha patungan antara
Pertamina dengan investor asing. Penggunaan metode ini diharapkan dapat
menemukan model pengaturan alih teknologi penambangan dasar laut samudra
dalam melalui usaha patungan. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Pengumpulan berbagai literature dan data-data yang relevan dengan topik penulisan ini.
- Pengumpulan data-data melalui wawancara yang terkait dengan topik tesis ini, seperti Departemen Pertambangan dan Energi, dan Pertamina.
Selengkapnya :
PERJANJIAN ALIH TEKNOLOGI MELALUI USAHA PATUNGAN ANTARA ”ENTERPRISE” DENGAN PERUSAHAAN PERINTIS
Daftar Pustaka
Dimitri Garmides (Editor), “Transfer of Technology by Multinational Coorporation. Volume 1st, OECD, 1977.
Elisabeth Mann Borgese and Norton Ginsburg (Editor), “Transfer of Technology Under The UN Convension on The Law of the Sea”, Ocean Yearbook 6th. The University of Chicago Press, Chicago and London, 1986.
Gunther Jeanicke, Erich Schanze, Wofgang Hauser, “A Joint Venture Agreement for Seabed Mining”, KluweDevente (Volume 5th ), 1981.
Hasyim Djalal, ”Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, Bina Cipta, Bandung, 1979.
Iskandar Alisyahbana, ”Beberapa Masalah Tekno-logi”, Simposium Tentang Paten, BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1978.
Ita Gambiro, ”Pemindahan Teknologi dan Pengaturannya Dalam Peraturan Perunda-ngan”, Seminar Aspek-aspek Hukum dari Pengalihan Teknologi, BPHN, Dept. Kehakiman, Jakarta, 1986.
John Vandermeulem and Susan Walker (Editor), “Ocean Technology, Development Training and Tranfer”, Proceeding Paceming Maru-bus XVI, IOI Malta, Pargamon Press, Singapore, 1991.
M. Nawaz Sharif (Editor), “Tecnology Policy Formulation and Planning : A Reference Manual, Asian and Pacific Center for Tranfer of Technology”, Bangalor, India, 1986.
Michael Blankeney. “National Seminar On li-censing and Technology Transfer Arrange-ment I “, 1990.
_______________, “Legal agreement for the Commercial Acquisition of Technology”, (VI). National Seminar on Licensing and Technology Agreement, Jakarta March 7-8 1990 prepared by The International Burau of WIPO.
Resolusi PBB No.II Tahun 1983 dari “Final Act Konvensi Hukum Laut 1982
Sudargo Gautama, ”Hukum Perdata dan Dagang Internasional”, Penerbit Alumni Bandung, 1980.
Dimitri Garmides (Editor), “Transfer of Technology by Multinational Coorporation. Volume 1st, OECD, 1977.
Elisabeth Mann Borgese and Norton Ginsburg (Editor), “Transfer of Technology Under The UN Convension on The Law of the Sea”, Ocean Yearbook 6th. The University of Chicago Press, Chicago and London, 1986.
Gunther Jeanicke, Erich Schanze, Wofgang Hauser, “A Joint Venture Agreement for Seabed Mining”, KluweDevente (Volume 5th ), 1981.
Hasyim Djalal, ”Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut”, Bina Cipta, Bandung, 1979.
Iskandar Alisyahbana, ”Beberapa Masalah Tekno-logi”, Simposium Tentang Paten, BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1978.
Ita Gambiro, ”Pemindahan Teknologi dan Pengaturannya Dalam Peraturan Perunda-ngan”, Seminar Aspek-aspek Hukum dari Pengalihan Teknologi, BPHN, Dept. Kehakiman, Jakarta, 1986.
John Vandermeulem and Susan Walker (Editor), “Ocean Technology, Development Training and Tranfer”, Proceeding Paceming Maru-bus XVI, IOI Malta, Pargamon Press, Singapore, 1991.
M. Nawaz Sharif (Editor), “Tecnology Policy Formulation and Planning : A Reference Manual, Asian and Pacific Center for Tranfer of Technology”, Bangalor, India, 1986.
Michael Blankeney. “National Seminar On li-censing and Technology Transfer Arrange-ment I “, 1990.
_______________, “Legal agreement for the Commercial Acquisition of Technology”, (VI). National Seminar on Licensing and Technology Agreement, Jakarta March 7-8 1990 prepared by The International Burau of WIPO.
Resolusi PBB No.II Tahun 1983 dari “Final Act Konvensi Hukum Laut 1982
Sudargo Gautama, ”Hukum Perdata dan Dagang Internasional”, Penerbit Alumni Bandung, 1980.
Kata Kunci : universitas , hukum
More Article Di Sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar